T A B E
Oleh Andi Damis
Salah satu ucapan atau sapaan dalam budaya masyarakat Bugis, yang mempunyai tingkat kehalusan bahasa yang amat tinggi serta bernilai penghargaan dan penghormatan yang cukup besar pada orang lain adalah kata "tabe".
Kata tabe dalam kosaka kata bahasa bugis berati permisi atu minta izin yang sekaligus mengandung maksud sebagai permohonan maaf. Oleh karena itu, ketika orang Bugis mengucapkan tabe, maka itu maksudnya ia meminta izin untuk suatu tindakan yang akan dilakukannya, dan sekaligus memohon maaf bila melakukan kekhilafan atau kesalahan dalam tindakannya tersebut.
Kata tabe ini merupakan suatu pilihan kata yang memiliki unsur pengertian yang amat tinggi dalam konsep etika, tatakrama dan moralitas. Ketiga unsur itu akan selalu bersenyawa dan menyatukan diri sebagai mantra penghias pengungkapan kata tabe, sehingga membuat orang merasa nyaman mendengarnya. Hal ini bisa dibuktikan jikalau sampai saat ini belum pernah terdengar ada seseorang yang tersinggung atau keberatan mendengar kata tabe tersebut.
Kata tabe, juga mengapresiasikan penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki setiap orang. Apresiasi ini merupakan penggambaran dari budaya leluhur orang Bugis yang senantiasa mengedepankan tutur sapa yang merendah dalam melakoni pergaulan atau berhubungan dengan orang lain. "Aja nacappuriko ada madeceng nasibawai ampekedo malemmae ripallaorumamu", pesan laluhur yang artinya janganlah kehabisan kata-kata yang baik dan sopan santun dalam pergaulanmu dengan orang lain.
Terkait dengan ada madeceng itulah sehingga kata tabe menjadi pilihan kata yang paling halus dan sopan serta penuh kesantunan dalam menyapa seseorang atau untuk orang banyak. Bahkan menjadi wejangan pokok dan kata kunci bagi perantau Bugis untuk bisa berhasil bertahan hidup berdampingan dengan rukun dan damai di kampung orang, yaitu; appattabeko rekko monrokko ri kampongna tauwe, yang diartikan sapalah penduduk kampung orang lain dengan tutur kata yang lemah lembut serta perilaku sopan santun.
Leluhur orang Bugis meninggalkan tiga wasiat utama yang harus menjadi bekal anak-cucunya bila berkehendak pergi merantau di kampung seberang atau negeri orang, yang populer dikenal sebagai bekal keberangkatan merantau dengan tiga ujung, yaitu; ujung lida, ujung kelaki-lakian (tabe maksudnya penis) dan ujung badik. Ujung lida dimaksudkan sebagai tutur sapa yang baik dan lemah lembut, sehingga dengan tutur kata yang baik diharapkan agar keberedaannya dirantau dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Ujung kelaki-lakian dimaksudkan sebagai upaya mengawini gadis di kampung rantauan, sehingga dengan mengawini gadis ditempat rantauan maka membuatnya menjadi bagian dari keluarga besar kampung tersebut, apalagi keturunannya kelak akan menjadi keturunan Bugis dalam ingkungan keluarga penduduk kampung itu. Ujung badik dimaksudkan sebagai sikap bertanggungjawab dari segala perbuatan atau tindakan yang dilakukannya serta harus rela mati demi mempertahankan kebenaran dan harga diri.
Keberadaan kata tabe dewasa ini, telah merambah menjalar dalam berbagai segi kehidupan, bahkan telah digunakan berbagai kalangan diluar orang Bugis itu sendiri. Penomema memasyarakatnya ungkapan tabe saat ini، sudah tentu menjadi indikasi munculnya pembauran bahasa daerah ditingkat pergaulan umum, termasuk sebagai bagian dari penyerapan istilah daerah yang akan menambah perbendaharaan kata dalam kamus bahasa Indonesia.
Lebih mencintai bahasa daerah dari pada bahasa asing, memang menjadi strategi dalam memelihara nilai-nilai budaya nusantara yang begitu beragam sebagai warisan leluhur yang turut memperkaya pesona tradisi berbahasa secara nasional. Namun bukan berarti bahasa asing harus dinomor duakan, mengingat keberadaannya sebagai bahasa pergaulan internasional, khususnya bahasa Inggris. Tapi lebih mencintai bahasa daerah merupakan permakluman untuk tidak melupakan budaya daerah yang memiliki bahasa pergaulan internal, yang terancam kepunahannya bila tidak ada pembelajaran yang diberikan kepada generasi berikutnya. Bahkan sekarang ini saja, betapa tidak sedikitnya putra daerah yang tinggal di kota-kota besar mempunyai anak cucu yang tidak mengenal lagi kampung halaman orang tuanya, terlebih lagi mengetahui bahasa daerahnya. Sementara di daerah para orang tua di kampung-kampung juga lebih cenderung berkomunikasi dengan anak cucunya menggunakan bahasa Indonesia dari pada memakai bahasa daerah setempat. Akibatnya secara perlahan bahasa daerah mulai ditinggalkan pemiliknya, dan membuat para pemerhati budaya khususnya bahasa daerah agak kesulitan menemukan pengguna bahasa daerah yang utuh dengan pemahaman makna yang lebih tepat sesuai interpretasi leluhur.
Seiring berjalannya waktu, kata tabe kini telah dapat diterima dan termanfaatkan secara umum, sebagai suatu ungkapan atau sapaan yang secara umum pula terpahami sebagai suatu bentuk permohonan untuk diizinkan melakukan sesuatu, misalnya untuk lewat didepan orang, terutama sekali memotong di depan orang tua, atau menyelah pembicaan atau untuk meminta dan menolak sesuatu bantuan orang lain dan banyak lagi hal lainnnya. Tapi intinya, kata tabe senantiasa berkondisi secara familiar pada maksud meminta perkenaan orang lain menerima sesuatu yang diucapkan atau dilakukan.
Tabe, semoga keberadaan tulisan ini dapat menggugah hati kita semua untuk selalu bangga menggunakan bahasa daerah kita sendiri، karena tidak sedikit dari ungkapan-ungkapan didalamnya justru terdengar halus dan sopan serta lebih memiliki nilai tatakrama serta penghormatan dan penghargaan pada orang lain, seperti halnya kata tabe ini. Wallahu A'lam Bishawab.
(Andi Damis, adalah pemerhati budaya leluhur)***
Keren om Etta Damis, tabe,....kata yg cocok dan pas digunakan sehari2
BalasHapusIye, terima kasih karena baru sempat dibalas. Mudah-mudahan tatakrama yang menampilkan keluhuran budi leluhur orang bugis masih terjaga dan terpelihara baik ditengah-tengah generasi milenial saat ini.
HapusMantap bossQ👍🏼👍🏼
BalasHapusTerima kasih semangatnya.
Hapus